Peran Ulama dalam Kemerdekaan
Ulama siap menjadi lini terdepan dalam memperjuangkan kemerdekaan. Tak sedikit dari mereka yang gugur sebagai syuhada, di antaranya Pangeran Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol, Teuku Umar, dan lain-lain.
Thomas S. Raffles, seorang Letnan Gubernur EIC (1811-1816) pun mengakui kontribusi para ulama dalam memperjuangkan kemerdekaan. Dalam sebuah kesempatan, ia pernah mengatakan:
“Karena mereka (ulama) begitu dihormati, maka tidak sulit bagi mereka untuk menghasut rakyat agar memberontak. Dan mereka menjadi alat yang paling berbahaya di tangan penguasa pribumi yang menentang kepentingan pemerintahan kolonial.”
Peran ulama dalam kemerdekaan Indonesia dapat dilihat dari aksi nyata yang dilakukan. Penasaran apa saja? Simak artikel berikut untuk mengetahui jawabannya.
Peran Ulama dalam Kemerdekaan Indonesia
Dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, para ulama menjadi tokoh sentral kepemimpinan sekaligus penggerak santri atau masyarakat untuk turut berjuang. Mereka membentuk laskar-laskar rakyat untuk mendapat pelatihan militer dan memanggul senjata.

Di bawah seruan para ulama, terbentuklah laskar-laskar rakyat seperti Hizbullah, Sabilillah, dan Mujahidin. Masing-masing dari mereka memegang peran penting dalam mempertahankan kemerdekaan.
Mengutip buku Sejarah Hukum Indonesia karya Prof. Dr. Sutan Remi Syahdeini (2021), kegigihan mereka tak lepas dari konsep jihad yang diyakini. Mereka beranggapan bahwa penjajah adalah orang zalim yang telah merampas kedaulatan umat serta ingin menghancurkan agama Islam.
Jadi, memerangi penjajah termasuk langkah jihad yang wajib dijalankan oleh umat Muslim. Fatwa jihad ini berpengaruh besar terhadap perjuangan melawan penjajah.
Hampir semua pertempuran melawan penjajah dipengaruhi oleh fatwa jihad, salah satunya pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Keberhasilan pertempuran ini tak lepas dari "Resolusi Jihad" yang dikumandangkan oleh K.H. Hasyim Asy'ari pada 22 Oktober 1945.
Resolusi tersebut dikokohkan pada Muktamar NU XVI di Purwokerto 26-29 Maret 1946. Isinya menyebutkan bahwa berperang melawan penjajah adalah kewajiban fardhu 'ain bagi orang yang berada dalam jarak 94 km dari kedudukan musuh.

Hukum fardhu ‘ain tersebut berlaku untuk laki-laki, perempuan, dan anak anak, baik yang bersenjata ataupun tidak. Menyusul pertempuran 10 November, fatwa jihad mulai diterapkan dalam aksi lainnya seperti pemberontakan petani di Banten dan pemberontakan rakyat di Singaparna.
Sayangnya, peran para ulama ini jarang terekspos oleh media secara luas. Sehingga, nama-nama mereka tidak begitu dikenang oleh generasi muda masa kini.
Setidaknya, ada beberapa nama yang mewakili perjuangan ulama Indonesia dalam merebut dan mempertahan kemerdekaan, di antaranya adalah K.H. Hasyim Asyari, KH . Abdul Wahid Hasyim, K.H. Zainul Arifin, K.H. Zainal Musthafa, dan masih banyak lagi.
(DKM - Muhajirin)